Translate

Wednesday, June 29, 2016

Vespa Tua dan Mekanik Italia






     Timnas Italia seperti vespa Piaggio tua buruk rupa. Onderdilnya karatan. Warnanya memudar. Orang mengira ia akan mogok ditengah jalan, bahkan sebelum melewati putaran grup. Hanya penggemar sepakbola antik yang percaya tim ini bisa bersaing.
     Pengamat mengumpamakan Italia mirip bebek besi teronggok di pinggir kali. Tanpa bulu dan digerogoti usia. Benar, bempernya dibelakang solid dan berkualitas. Namun lampu sorot didepan redup dan tumpuannya rapuh.
     Itulah gambaran saya tentang Italia. Sebelum mereka melindas Belgia dan Swedia. Banyak orang akan setuju kalau saya bilang bebek pinggir kali itu tak akan menang adu lari lawan ayam jantan Prancis dan benteng Spanyol, apalagi panser Jerman.
     Italia tak punya komponen kelas dunia. Andrea Pirlo, piston yang membuat mesin mereka berjalan selama bertahun tahun, aus, dan tak dipakai lagi. Spare part-nya, Marco Veratti dan Claudio Marchisio, dihantam cedera.
     Bagi orang yang pengin praktis, vespa tua tentu bukan pilihan utama. Banyak motor murah dan dikendarai dengan mudah. Dengan vespa, anda harus bersiap dengan busi, karburator, atau kopling. Harus mencampur bensin dan oli. Dan, kalau ban kempes, anda adalah orang paling sial sedunia.
     Namun orang Italia mengatakan amici sono meglio vecchi. Semakin tua anggur, semakin enak rasanya. Pepatah ini berlaku juga untuk vespa. Semakin tua vespa, semakin antik dan berharga. Seperti keladi, semakin berumur vespa, semakin dicari. Vespa butut bisa dirombak menjadi skuter bersuara merdu dan enak dikendarai. Di tangan mekanik lihai, vespa tua, bisa punya nilai jual tinggi.
     Mamma mia, Italia punya mekanik itu. Antonio Conte, sang pelatih, memang tidak mewakili gambaran mekanik vespa tua, tangan hitam penuh oli, dan agak gila. Ia masih muda dan rapi meskipun, ya, sedikit gila. Ia tidak hanya telaten dan teliti, namun juga penuh semangat dan inovasi. Lihat saja klip saat ia melompat ke pelukan pemainnya begitu Emanuele Giaccherini mencetak gol ke gawang Belgia.
     Conte membuat mesin dan bodi tua Italia tetap bekerja, sekaligus memberi energi dan daya. Ia menggabungkan seni bertahan klasik Italia dengan seni mengeksploitasi ruang sepakbola modern. Kekuatan fisik lini belakang ia racik dengan kepintaran gelandang mengeksploitasi lubang pertahanan lawan. Ia aduk umpan pendek dan panjang dengan pergerakan melebar kedua sisi lapangan.
     Yang menarik, Conte tidak terpana untuk mengubah tradisi sepakbola Italia menjadi gaya sepakbola dominan yang bertumpu pada penguasaan bola dan pressing tinggi. Ketika sepakbola Eropa terobsesi menjadi seperti Barcelona, Conte adalah sedikit pelatih yang berusaha melestarikan penggunaan libero, penjagaan satu lawan satu, dan efektivitas umpan panjang.
     Conte tidak mengubah vespa menjadi bebek oktan tinggi model Yamaha. Sebaliknya ia memoles Gli Azzuri, julukan Italia, dengan pertahanan rendah. Ia memodifikasi pertahanan gerendel dengan menempatkan libero turun kedalam untuk mengomando kapan menyerang kapan bertahan.
     Ia juga memberi sentuhan baru lewat kelenturan taktik dan serangan balik. Maka, kita dapat paduan libero-playmaker Leandro Bonucci yang memulai serangan, penjagal brutal Giorgio Chiellini yang melakukan man-to-man marking, serta Andrea Barzagli yang menutup dan menyempitkan garis pertahanan.
     Dengan bertolak dari tradisi, Conte tidak mencangkok tradisi sepakbola luar Italia kedalam sistem permainan timnya, hal yang kini dilakukan Spanyol, Jerman, atau Inggris. Ia justru merawat vespa tua dan memodifikasinya dengan bodi baru yang tidak bagus bagus amat bahannya, namun nyaman ditumpangi.
     Bukan kebetulan sistem bertahan ini hanya bisa dimodifikasi oleh mekanik Italia. Konon, obsesi dengan pertahanan berlapis dan duel satu lawan satu dengan penyerang adalah cerminan kejantanan pria Italia. Mereka suka berdandan dan peduli penampilan, menghabiskan waktu berjam jam untuk mencocokkan warna kaos kaki, sabuk, dan dasi. Tanpa pria Italia kita tidak pernah mengenal piano atau prada.
     Di lapangan hijau, kejantanan itu mewujud dalam seni bertahan yang mengombinasikan taktik yang rapi dan terkoordinasi dengan adu badan yang brutal. Lini belakang Italia jelas hasil obsesi Conte dalam meracik taktik, menata posisi, dan mengatur pergerakan pemain. Hasilnya seperti vespa modifikasi. Italia terlihat lebih cepat dan enak dipandang.
     Di tangan Conte, bebek ringsek itu tiba tiba berubah menjadi tawon raksasa, arti vespa dalam bahasa Italia. Dengan formasi dasar 3-5-2 yang lentur, skuad tua itu menjadi kerumunan tawon berbahaya. Mereka memadati dan mempertahankan sarang sebelum melancarkan serangan ke jantung lawan.
     Vespa polesan Conte memang tidak segemerlap mobil Jerman atau kereta Prancis. Namun, penggemar vespa tahu bahwa kenikmatan naik skuter tidak bisa digantikan oleh mesin Vario atau motor Ninja.
     Naik vespa tua dan mendukung Italia punya kesamaan, butuh imajinasi untuk menikmatinya. Orang bilang perjalanan santai di atas vespa tua seperti duduk di atas bokong seksi raksasa. Semakin lama, perjalanan di atas bokong itu akan semakin mencapai klimaksnya. Barangkali, ini sebabnya Italia sering lolos ke puncak turnamen sepakbola.
     Sebagai pemilik vespa tua, saya tidak bisa tidak setuju, meskipun saya bukan fans berat Italia dan sering kesal kalau vespa saya ngadat di jalan raya.

(Darmanto Simaepa - Penulis Buku Tamasya Bola)

















Wednesday, June 15, 2016

Go Home

Go home dear, go home.
Go home to your village.
Because in village, you can find your heart.
But in the big city, you can only find money, fighting .


Monday, June 13, 2016

Saturday, June 11, 2016

Not Finish

Until when dreams were purchased?
Perhaps later, until the lost pride .


Friday, June 10, 2016